Akulturasi Dan Perkembangan Budaya Islam

Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memperlihatkan dan memilih corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi sebab kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada. Akulturasi ialah suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok insan kebudayaan tertentu diperlukan dengan unsur-unsur dari kebudayaan absurd dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan absurd itu lambat laun diterima dan tanpa mengakibatkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia. Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah mempunyai corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi kebudayaan sebab percampuran bangsa-bangsa dan saling mensugesti yang melahirkan kebudayaan gres yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan dikala Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan menyerupai seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya. Beberapa rujukan bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.

1. Seni Bangunan
Seni dan arsitektur bangunan Islam di Indonesia sangat unik, menarik dan akulturatif. Seni bangunan yang menonjol di zaman perkembangan Islam ini terutama masjid, menara serta makam.

Masjid dan Menara
Dalam seni bangunan di zaman perkembangan Islam, nampak ada perpaduan antara unsur Islam dengan kebudayaan praIslam yang telah ada sebelumnya. Beberapa rujukan seni bangunan Islam yang menonjol ialah masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah bagi orang Islam.
 Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasi Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam
Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  • Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan Mustaka.
  • Tidak dilengkapi dengan menara, menyerupai lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya orisinil Indonesia.
  • Letak masjid biasanya erat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau erat dengan makam.

Makam-makam yang lokasinya di dataran erat masjid agung, bekas kota sentra kesultanan antara lain makam sultan-sultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam raja-raja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam sultan-sultan Palembang, makam sultan-sultan di tempat Nanggroe Aceh, yaitu kompleks makam di Samudera Pasai, makam Sultan Ternate di Ternate, makam sultan-sultan Goa di Tamalate, dan kompleks makam raja-raja di Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi Selatan), makam-makam di banyak sekali tempat lainnya di Sulawesi Selatan, serta kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara dan masih banyak yang lainnya.

Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang penempatannya berada di tempat dataran tinggi. Seperti makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin ar-Raniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran.

Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
  • Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang tinggi.
  • Makamnya terbuat dari bangunan kerikil yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga terbuat dari batu.
  • Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
  • Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok makam.
  • Di erat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya makam tersebut ialah makam para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di Tuban.

Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi memperlihatkan kesinambungan tradisi yang merupakan pengejawantahan pendirian punden-punden berundak pada masa Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa Hindu-Buddha dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Antara lain Candi Dieng yang berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Candi Gedongsanga, Candi Borobudur. Percandian Prambanan, dan lain-lain.

Setelah kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha mengalami keruntuhan unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan. Beberapa rujukan akulturasi bangunan keagamaan antara lain sebagai berikut.
  • Makam-makam yang lokasinya di atas bukit, makam yang paling atas ialah yang dianggap paling dihormati contohnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di Gunung Sembung, di belahan teratas kompleks pemakaman Imogiri ialah makam Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kompleks makam yang mengambil tempat datar contohnya di Kota Gede, orang yang paling dihormati ditempatkan di belahan tengah. 
  • Makam walisongo dan sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbaharui. Cungkup-cungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati.

Di samping bangunan makam, terdapat tradisi pemakaman yang bergotong-royong bukan berasal dari pedoman Islam. Misalnya, mayat dimasukkan ke dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu, kubur kerikil dan lainnya. Sering pula di atas kubur diletakkan bunga-bunga. Pada hari ke-3, ke-7, ke40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari diadakan selamatan. Saji-sajian dan selamatan ialah unsur imbas kebudayaan pra-Islam, tetapi doa-doanya secara Islam.

2. Seni Ukir
Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang pedoman bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi insan secara nyata, tidak diperbolehkan sehingga perkembangan seni patung kurang berkembang. Sesudah zaman madya, seni patung berkembang menyerupai yang sanggup kita saksikan kini ini.

Namun, seni pahat atau seni ukir terus berkembang dalam bentuk seni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaan menyerupai yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian juga ditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi). Bahkan muncul kreasi baru, yaitu jika terpaksa ingin melukiskan makluk hidup, akan disamar dengan banyak sekali hiasan, sehingga tidak lagi jelas-jelas berwujud hewan atau manusia.

Banyak sekali bangunan-bangunan Islam yang dihiasi dengan banyak sekali motif ukir-ukiran. Misalnya, ukir-ukiran pada pintu atau tiang pada bangunan keraton ataupun masjid, pada gapura atau pintu gerbang. Dikembangkan juga seni hias atau seni ukir dengan bentuk goresan pena Arab yang dicampur dengan ragam hias yang lain. Bahkan ada seni kaligrafi yang membentuk orang, binatang, atau wayang.

3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka besar lengan berkuasa terhadap bidang abjad atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal goresan pena Arab, bahkan berkembang goresan pena Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu goresan pena Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak memakai gejala a, i, u menyerupai lazimnya goresan pena Arab.

Seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam ialah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra imbas Hindu-Budha dan sastra Islam. Wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ abjad yang dipergunakan yaitu memakai huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu. Bentuk seni sastra yang berkembang antara lain sebagai berikut :
  • Hikayat yaitu dongeng atau dongeng yang berpangkal dari kejadian atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang populer yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
  • Babad ialah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai kejadian sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
  • Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat bau tanah ialah syair yang tertulis pada kerikil nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
  • Suluk ialah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.

4. Kesenian
Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk membuatkan pedoman Islam. Kesenian tersebut, contohnya sebagai berikut.
  • Permainan debus, tarian ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat dalam Al Alquran dan salawat nabi. Tarian ini terdapat di Banten dan Minangkabau.
  • Seudati berasal dan kata syaidati yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman artinya delapan. Para pemain menyanyikan lagu yang isinya antara lain salawat nabi
  • Wayang, termasuk wayang kulit. Pertunjukan wayang sudah berkembang semenjak zaman Hindu, akan tetapi, pada zaman Islam terus dikembangkan. Kemudian menurut dongeng Amir Hamzah dikembangkan pertunjukan wayang golek.

5. Sistem Pemerintahan
Sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu Budha, tetapi sesudah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam menyerupai Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya. Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan menyerupai halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.
.
6. Sistem Kalender
Menjelang tahun ketiga pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, dia berusaha membenahi kalender Islam. Perhitungan tahun yang digunakan atas dasar peredaran bulan (komariyah). Umar menetapkan tahun 1 H bertepatan dengan tanggal 14 September 622 M, sehingga kini kita mengenal tahun Hijriyah.

Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari menyerupai legi, pahing, pon, wage dan kliwon.

Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram membuat kalender Jawa, dengan memakai perhitungan peredaran bulan (komariah) menyerupai tahun Hijriah (Islam). Pada kalender Jawa, Sultan Agung melaksanakan perubahan pada nama-nama bulan menyerupai Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap memakai hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
Akulturasi Dan Perkembangan Budaya Islam Akulturasi Dan Perkembangan Budaya Islam Reviewed by dannz on 8:53 PM Rating: 5