Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda

Aceh mempunyai kedudukan yang strategis dan menjadi pusat perdagangan. Daerahnya luas dan mempunyai hasil penting menyerupai lada, hasil tambang, serta hasil hutan. Karena itu dalam rangka mewujudkan Pax Neerlandica (Motto Belanda yang ingin menguasai seluruh Hindia Belanda dan menjalankan sebagai satu kesatuan dengan negeri Induk Kerajaan Hindia Belanda), Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh.

Para sultan yang pernah berkuasa tetap ingin mempertahankan kedaulatan Aceh. Semangat mereka secara resmi dibenarkan oleh adanya Traktat London tanggal 17 Maret 1824. Traktat London ialah hasil kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda sesudah mendapat kembali tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara, tidak dibenarkan mengganggu kedaulatan Aceh.

A. Penyebab Perang Aceh
Perang Aceh Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh mengalah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.  Perang Aceh disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
  1. Belanda menduduki tempat Siak sebagai jawaban dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan tempat Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu semenjak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
  2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London ialah Belanda dan Inggris menciptakan ketentuan ihwal batas-batas kekuasaan kedua tempat di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
  3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, lantaran memang Belanda bersalah.
  4. Di bukanya saluran Suez oleh Ferdinand de Lessep mengakibatkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
  5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris menunjukkan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan wilayahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
  6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan kekerabatan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
  7. Akibat kekerabatan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda mengakibatkan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh.

B. Perlawanan Rakyat Aceh
Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh lantaran itu, Belanda mengancam dan mengultimatum biar Kesultanan Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Aceh tidak akan menghiraukan ultimatum itu. Karena Aceh dinilai membangkang maka pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melalui Komisaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh. Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para pejuang Aceh di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah II mengobarkan semangat jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda.
 Aceh mempunyai kedudukan yang strategis dan menjadi pusat perdagangan Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda
Perang Aceh Pertama
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Pada tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh dibawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan Aceh berhasil membunuh Kohler.

Kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan pasukannya, tetapi juga terkait hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosial budaya yang sesuai dengan aliran Al-Qur’an. Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan “syahid atau menang”.

Perang Aceh Kedua
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi kepingan dari Kerajaan Belanda. 

Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874 lantaran terjangkit kolera, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Tetapi lantaran masih di anak-anak maka diangkatlah Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai wali atau pemangku sultan hingga tahun 1884.

Di bawah pimpinan ulebalang, ulama dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang melawan Belanda. Semangat juang semakin meningkat seiring pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini kemudian menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro.

Di bawah pimpinan Van der Heijden, Belanda berhasil mendesak pasukan Habib Abdurrahman, bahkan Habib Abdurrahman kesudahannya mengalah kepada Belanda. Sementara Cik Di Tiro mendur ke arah Sigli untuk melanjutkan perlawanan. Belanda berhasil menguasai beberapa tempat menyerupai Seunaloh, Ansen Batee.

Perang Aceh Ketiga
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Perang Sabil merupakan perang melawan kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, perang jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi. 

Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan hingga tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie. Di Aceh kepingan barat tampil Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Belanda mulai kewalahan di aneka macam medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan taktik gres yang dikenal dengan “Konsentrasi Stelsel atau Stelsel Konsentrasi”.

Ditengah-tengah usaha itu pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya melawan Belanda dilanjutkan oleh puteranya yang berjulukan Tengku Ma Amin Di Tiro.

Untuk menghadapi semangat Perang Sabil Belanda juga semakin kesulitan dan kesudahannya melaksanakan anjuran Snouck Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Snoukck Horgronye mengusulkan beberapa cara untuk melawan usaha rakyat Aceh. 
  1. Perlu memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, lantaran di lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama, dan rakyat.
  2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata.
  3. Bersikap lunak terhadap kaum aristokrat dan keluarganya dan diberi kesempatan untuk masuk ke dalam korps pamong praja dalam pemerintahan kolonial Belanda.

Pada tahun 1899 dikala terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perlawanan rakyat Aceh belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah komando sultan dan Panglima Polem terus berkobar. Pada tahun berikutnya Belanda menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena
tekanan Belanda yang terus menerus, pada Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. 

Cara licik ini kemudian juga dipakai untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem dan Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap oleh Belanda. Dengan tekanan yang bertubi-tubi kesudahannya Panglima Polem juga mengalah pada 6 Serptember 1903. Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa Kerajaan Aceh yang sudah bangun semenjak 1514 harus berakhir.

Perang Aceh Keempat
Perang keempat (1896-1910) ialah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Cut Nyak Dien terus mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi sesudah pos pertahan pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat hingga meninggal pada tanggal 8 November 1908.

Di tempat Pidie sejumlah ulama masih terus melancarkan serangan ke pos-pos Belanda. Tokoh-tokoh ulama itu contohnya Teungku Mahyidin Tiro bersama istrinya Teungku Di Bukiet Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng.

Ulama yang terakhir mengadakan perlawaan di Pidie ini ialah Teungku Ma’at Tiro yang waktu itu gres berusia 16 tahun. Tetapi sesudah dikepung di Pegunungan Tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911. 

Di pesisir utara dan timur Aceh juga masih banyak para ulama dan pemimpin etika yang terus melaksanakan perlawanan. Misalnya Teuku Ben Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong (suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan perang melawan kekejaman Belanda. 

Pada tanggal 26 September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang Nanggru (suami Cut Meutia) tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia kesudahannya sanggup didesak dan gugur sesudah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. 

Demikian Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal gres berakhir pada tahun 1912. Tetapi sesungguhnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung hingga tahun 1942
Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda Reviewed by dannz on 12:20 AM Rating: 5