Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang yaitu nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada periode ke-8. Keberadaan lokasi kerajaan itu sanggup diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungai-sungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, contohnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu hingga sekitar Prambanan.

Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas, namun berdasarkan Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno yaitu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal (732) tanpa menyebut terang apa nama kerajaannya. Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut berjulukan Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja dari Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara).

Sumber Sejarah
Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klurak. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari informasi Cina.
Nama PrasastiKeterangan
Prasasti CanggalTempatHalaman Candi Guning Wukir di desa Canggal
IsiBerangka tahun 732 M. Prasasti Canggal memakai karakter pallawa dan bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan perihal pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja sebelumnya yaitu Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara wanita Sanna).
Prasasti KalasanTempatDesa Kalasan Yogyakarta
IsiBerangka tahun 778M, ditulis dalam karakter Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Pangkaran atas seruan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha).
Prasasti Mantyasih/BalitungTempatMantyasih Kedu, Jawa Tengah
IsiBerangka 907M yang memakai bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut yaitu daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang.
Prasasti KlurakTempatDesa Prambanan 
IsiBerangka 782 M ditulis dalam karakter Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.

Perkembangan Pemerintahan
Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja berjulukan Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya yaitu putra Sanaha, saudara wanita dari Sanna.

Sanjaya tampil memerintah pada tahun 717 - 780 M melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya lalu melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.

Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memperlihatkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan.

Prasasti Kalasan juga membuktikan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran lalu memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha (Mahayana) dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa). Hal ini mengakibatkan perpecahan, satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang menganut agama Hindu berkuasa di tempat Jawa potongan utara, sedangkan tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di tempat Jawa potongan selatan. 
  1. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunan-bangunan candi di Jawa potongan utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo.
  2. Keluarga yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi ibarat Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan lalu dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.

Keluarga Syailendra lalu bersatu kembali dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga yang beragama Budha pada tahun 832 M. Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Setelah Samaratungga wafat, anaknya dari Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang kudeta antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa menciptakan benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa lalu menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

Kehidupan agama di Mataram Kuno berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi lalu digantikan oleh Dyah Balitung yang memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Balitung membangun Candi Prambanan sebagai candi yang manis dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.

Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa sesudah Balitung yaitu Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang mengakibatkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya musibah dan bahaya dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya (Balaputradewa).

Kekuasaan Dinasti Isyana
Pada masa Pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M, ibu kota kerajaan pindah dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti gres yaitu Dinasti Isyanawangsa. Pemindahan sentra kerajaan juga dikarenakan kontradiksi keluarga dan kehancuran akhir letusan Gunung Merapi. Berdasarkan prasasti, sentra pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan akrab Jombang, alasannya di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya mencakup Jawa potongan timur, Jawa potongan tengah, dan Bali.

Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya berjulukan Sri Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah putra yang berjulukan Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu anutan Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno.

Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhtah ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang dikala itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa mengakibatkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga lalu dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan kekerabatan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, mencakup seluruh Jawa Timur. Airlangga memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.

Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dan hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya Tungga- Dewi, namun putrinya itu menolak dan menentukan untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.

Akhirnya Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan yaitu Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang berjulukan Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya mencakup tempat sekitar Surabaya hingga Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri).

Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang berjulukan Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), mencakup tempat sekitar Kediri dan Madiun. Kerajaan Kediri yaitu kerajaan pertama yang memiliki sistem manajemen kewilayahan negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wiadmin, yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno Sejarah Kerajaan Mataram Kuno Reviewed by dannz on 4:53 PM Rating: 5