Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda

Tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda sehabis sebelumnya dikuasai oleh Inggris. Tanah Hindia diperintah oleh tubuh gres yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibuat oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Dengan kiprah utama menormalisasikan keadaan di Hindia Belanda.

Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan laba sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan laba yang besar kalau diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif beropini pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan laba apabila eksklusif ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.

A. Kebijakan Jalan Tengah
Kebijakan jalan tengah yaitu kebijakan yang merupakan jalan tengah yang diambil diantara kontradiksi kaum liberal dan kaum konservatif dalam mengelola tanah jajahan di Indonesia. Ketiga Komisaris setuju menerapkan kebijakan jalan tengah yaitu eksploitasi kekayaan ditanah jajahan eksklusif ditangani oleh pemerintah Hindia Belanda.

Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan yaitu Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal.

Ia ingin melanjutkan taktik jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus kiprah penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Kebijakan De Bus tidak berhasil lantaran rakyat tetap miskin sehingga tidak bisa menyediakan barangbarang yang diekspor.

B. Sistem Tanam Paksa
Tahun 1829 seorang tokoh berjulukan Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda tawaran yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch beropini untuk memperbaiki ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman flora yang sanggup laris dijual di pasar dunia. Konsep Bosch itulah kemudian dikenal dengan Cultuur stelsel atau tanam paksa.

Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta baiklah dengan tawaran dan asumsi Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal gres di Jawa. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
  1. Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
  2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa dihentikan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  3. Waktu dan pekerjaan yang diharapkan untuk menanam flora Tanam Paksa dihentikan melebihi pekerjaan yang diharapkan untuk menanam padi.
  4. Tanah yang disediakan untuk flora Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Hasil flora yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil flora ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
  6. Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
  7. Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan eksklusif para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melaksanakan pengawasan secara umum.
  8. Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.

Pelaksanaan Tanam Paksa
Tanam Paksa dilaksanakan dengan cara sebagai berikut.
  1. Sistem tanam paksa harus memakai organisasi desa
  2. Pengerahan tenaga kerja melalui sambatan, gotong royong, gugur gunung
  3. Peran kepala desa sangat sentral sebagai pencetus petani, penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah
 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda sehabis sebelumnya dikuasai oleh Inggri Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda
Tanam paksa yang dilaksanakan telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul ancaman kelaparan dan kematian di aneka macam daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.

Walaupun banyak merugikan rakyat, namun Tanam Paksa juga mempunyai beberapa dampak positif bagi rakyat, diantaranya yaitu dikenalkan flora jenis gres untuk ekspor, dibangun jalan masuk irigasi, dan dibangun jaringan rel kereta api. Sedangkan dampak negatifnya yaitu sebagai berikut.
  1. Pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan
  2. Terjadi tindak korupsi dari pegawai dan pejabat dan rakyat sangat menderita
  3. Para pekerja jatuh sakit dan terjadi ancaman kelaparan
  4. Hindia Belanda mengeruk laba 832 jt gulden 1831- 1877

C. Sistem Usaha Swasta
Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik jelek dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro Tanam Paksa tetap yaitu kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah, sedangkan yang kontra yaitu mereka dipengaruhi oleh anutan agama dan penganut asas liberalisme.

Setelah kaum liberal mendapat kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen mempunyai peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri.

Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar goresan pena Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) goresan pena Frans van de Pute. Secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.

Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memperlihatkan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan aneka macam ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
  1. Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
  2. Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur wacana monopoli flora tebu oleh pemerintah yang kemudian secara sedikit demi sedikit akan diserahkan kepada pihak swasta.
  3. Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur wacana prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain : Pertama, Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua. Pertama, milik pribumi berupa persawahan, kebun,dll. Kedua tanah hutan pegunungan, dll milik pemerintah. Kedua, Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah. Ketiga, Pihak swasta sanggup menyewa tanah. Tanah pemerintah disewa hingga 75 tahun, tanah penduduk hingga 5 tahun

Sejak UU Agraria, pihak swasta banyak emasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Munculnya imperalisme modern, kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai: tempat mendapat materi mentah dan penanaman modal asing, tempat pemasaran hasil industri dari Eropa, dan penyedia tenaga kerja yang murah.

Sisi positif kebijakan ini antara lain pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api, tahun 1872 dibangun pelabuhan tanjung priok, Belawan, Teluk Bayur, dan 1883 maskapai tembakau Deli memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Sedangkaan dampak negatifnya yaitu pelaksanaan perjuangan swasta membawa penderitaan bagi rakyat bumiputera, pertanian merosot, rakyat kerja paksa dan membayar pajak

D. Masuknya Agama Kristen
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar sanggup dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Nasrani dan Kristen Protestan. Dalam kenyataannya agama Kristen Nasrani dan Kristen Protestan berkembang di aneka macam daerah. Bahkan di tempat Indonesia kepingan Timur ibarat di Papua, tempat Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga tempat Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.

Pada tahun 650 agama Kristen sudah mulai berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya) dan sekitarnya. Pada masa ke-9 Kedah berubah menjadi pelabuhan dagang yang sangat ramai di jalur pelayaran yang menghubungkan India-Aceh-Barus- Nias-melalui Selat Sunda-Laut Jawa dan terus ke Cina. Jalur inilah yang disebut sebagai jalur penyebaran agama Kristen dari India ke Nusantara.

Agama Kristen (Katolik dan Protestan) masuk dengan cara tenang melalui acara pelayaran dan perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah pantai di Semenanjung Malaya dan juga pantai barat di Sumatera.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat itu semakin memantapkan dan mempercepat penyebaran agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis membuatkan agama Kristen Nasrani (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut Kristen).

Agama Nasrani dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera. Singkatnya agama Katholik dan Kristen sanggup berkembang di aneka macam tempat di Indonesia, termasuk di Batavia dan Jawa pada umumnya. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa.
Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda Reviewed by dannz on 11:51 AM Rating: 5