Perang Padri yaitu perang yang terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821-1837. Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum tepat dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh murid Tuamku Kota Tua sangat tertarik kemudian ikut mendukung impian ketiga orang Haji tersebut.
Dalam melaksanakan pemurnian praktik aliran Islam, kaum Padri menentang praktik banyak sekali budpekerti yang tidak sesuai aliran Islam. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Adanya kontradiksi antara kaum Padri dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda.
Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau.
Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa tempat kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi fasilitas oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri. Perang Padri di Sumatera Barat ini sanggup dibagi dalam tiga fase.
Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi target serbuan kaum padri. Juga pos-pos lain menyerupai Soli Air, Sipinang dan lain-lain.
Sementara itu pasukan Belanda sesudah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak populer dengan sebutan Front Van der Capellen. Perlawanan kaum Padri muncul di banyak sekali tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso.
Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kemudian kesatuan kaum Padri yang populer yaitu yang berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka yaitu Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.
Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belanda mengambil taktik damai. Pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah negosiasi tenang antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang.
Belanda memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Tindakan Belanda tersebut telah menyebabkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan peniadaan kesepatakan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda.
Fase kedua (1825-1830)
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Bagi Belanda tahun tersebut dipakai untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya tenang diusahakan sekuat tenaga. Kolonel De Stuers penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai.
Belanda kemudian minta tunjangan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang berjulukan Sulaiman Aljufri. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol semoga bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon permintaan tenang itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :
- Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
- Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
- Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melaksanakan perjalanan
- Secara sedikit demi sedikit Belanda akan melarang praktik sabung ayam.
Fase ketiga (1830 – 1837/1838)
Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapat simpati dari kaum Adat. Tahun 1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapat pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch semoga melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.
Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, menyerupai Manggung dan Naras. Termasuk tempat Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk sanggup menguasai Lintau. Pada Agustus 1831 Belanda sanggup menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.
Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melaksanakan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri. Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa nagari di Agam.
Di samping taktik militer, Van den Bosch menerapkan taktik winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan banyak sekali jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan akhir penghapusan pajak, kemudian diberi honor 25-30 gulden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi honor 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau.
Kemudian dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang yaitu pernyataan atau komitmen khidmat yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai memperlihatkan perdamaian kepada para pemimpin Padri
Dengan kebijakan gres itu beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Tahun 1834 Belanda sanggup memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan bersahabat Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau berdamai tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain jikalau tercapai perdamaian Imam Bonjol minta semoga Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda.
Justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap sanggup dipertahankan oleh pasukan Padri. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.
Perlawanan Rakyat Sumatera Barat Terhadap Belanda
Reviewed by dannz
on
12:20 PM
Rating: