Masa prasejarah atau praaksara merupakan masa kehidupan insan sebelum mengenal tulisan. Mereka hidup, bergerak, dinamis, berpikir, bahkan mempunyai aneka macam kebutuhan ibarat halnya kita. Perbedaannya, mereka masih sangat primitif sehingga dengan segala keterbatasannya mereka melaksanakan segala acara dengan sangat sederhana. Zaman praaksara sering juga disebut sebagai zaman prasejarah atau zaman nirleka. Nir artinya tidak dan leka artinya tulisan. Makara kesimpulannya, pada zaman ini insan masih belum mengenal tulisan.
Batas antara zaman prasejarah dan zaman sejarah yaitu dengan ditemukannya goresan pena dalam kebudayaan manusia. Dimulainya zaman sejarah pada setiap bangsa itu berbeda-beda, hal itu tergantung dari tingkat peradaban masing-masing bangsa. Berdasarkan penemuan-penemuan hasil kebudayaannya yang mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu masa dengan yang lainnya, maka corak kehidupan masyarakat praaksara (prasejarah) berdasarkan para andal sejarah sanggup dibagi menjadi tiga masa, yaitu :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan, pada masa ini ditemukan peralatan-peralatan yang berafiliasi dengan kegiatan berburu dan terbuat dari batu.
- Masa bercocok tanam, pada masa ini ditemukan peralatan-peralatan yang dipakai sebagai alat bercocok tanam (pertanian) yang sederhana (masih terbuat dari batu).
- Masa perundagian, pada masa ini ditemukan peralatan-peralatan yang telah memakai materi dasar logam.
1. Pola Hunian
Pola Hunian pola hunian insan purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa pola yang memperlihatkan pola hunian ibarat itu yaitu situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh dari adanya kecenderungan insan purba menghuni lingkungan di pinggir sungai.
Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga dibutuhkan oleh flora maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya aneka macam hewan untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memperlihatkan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan insan sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, insan sanggup melaksanakan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
2. Berburu-Meramu hingga Bercocok Tanam
Masa insan purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari materi masakan yang tersedia. Alat-alat yang dipakai terbuat dari kerikil yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada insan Meganthropus dan Pithecanthropus.
Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan bersahabat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di kawasan pantai. Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi masakan sebab belum sanggup mengusahakan jenis tumbuhan untuk dijadikan materi makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok insan purba yang bertempat tinggal sementara, contohnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum mengambarkan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya. Mereka tidak hanya mengumpulkan masakan tetapi mencoba memproduksi masakan dengan menanam. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa masakan yang tumbuh di tanah sehabis tersiram air hujan.
Pelajaran inilah yang kemudian mendorong insan purba untuk melaksanakan cocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, usang kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah. mencari tempat yang sanggup ditanami. Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam.
Kegiatan insan bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya yaitu jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang sebab dikala itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.
Begitu juga kegiatan beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem tukar barang mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang sebab mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.
Begitu juga kegiatan beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem tukar barang mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang sebab mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.
3. Sistem Kepercayaan
Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan sehabis mati. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam aneka macam bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal yaitu tambahan yang dipakai sebagai bekal kubur. Pada zaman purba insan mengenal penguburan mayat. Pada dikala inilah insan mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal insan menyiapkan dirinya dengan aneka macam bekal kubur, sehingga kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.
Masyarakat zaman pra-aksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan sehabis mati. Roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Kegiatan ritual yang paling menonjol yaitu upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, mayat orang yang telah meninggal dibekali aneka macam benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, contohnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan supaya perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik.
Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak. Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacara-upacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya insan yang meninggal akan mendapat kebahagiaan kalau mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, contohnya pada peti kerikil atau sarkofagus.
Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak. Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacara-upacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya insan yang meninggal akan mendapat kebahagiaan kalau mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, contohnya pada peti kerikil atau sarkofagus.
Upacara maut merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat pra-aksara telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman kerikil besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar ibarat menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus.
Pada zaman praaksara, seorang sanggup dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan materi wadah kubur sanggup dipakai sebagai petunjuk status sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering dipakai sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat.
Pada zaman praaksara, seorang sanggup dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan materi wadah kubur sanggup dipakai sebagai petunjuk status sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering dipakai sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat.
Sistem kepercayaan dan tradisi kerikil besar telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan.
Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara selesai juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin dikala memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini hingga kini masih sanggup kita temui dibeberapa daerah.
Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara selesai juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin dikala memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini hingga kini masih sanggup kita temui dibeberapa daerah.
Corak Kehidupan Masyarakat Era Pra-Aksara
Reviewed by dannz
on
7:28 PM
Rating: